Kamis, 31 Mei 2012

Studi Kasus Tindak Tutur VARIASI BAHASA LISAN PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR BINTAN CENTRE TANJUNGPINANG KM.09


VARIASI BAHASA LISAN PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR BINTAN CENTRE TANJUNGPINANG KM.09


PENDAHULUAN
Situasi kebahasaan masyarakat tutur Jawa diwarnai pemakaian bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia dengan segala kemungkinan pemakaian bahasa daerah lain
dan bahasa asing. Apabila dalam situasi seperti itu terjadi kontak sosial antarpenutur,
penutur yang terlibat dalam kontak sosial tersebut akan berusaha memilih salah satu
bahasa atau variasinya yang paling cocok untuk keperluan dan situasi tertentu.
Pemilihan bahasa demikian menunjukkan fungsi tiap-tiap bahasa bertalian dengan
keperluan dan situasinya.
Gejala semacam itu terlihat di dalam pemakaian bahasa oleh penjual dan pembeli
di pasar Bintan Centre. Agar komunikasi dapat berjalan lancar dan tujuan
komunikasi dapat tercapai seperti yang dikehendaki, pemilihan bahasanya harus
mempertimbangkan berbagai faktor.
Fishman (dalam Wibowo, 2001:5-6) menegaskan bahwa pemakaian bahasa
tidak hanya ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor nonlinguistik,
seperti faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial, di antaranya meliputi status
sosial, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, usia, dan jenis kelamin. Adapun faktor
situasional di antaranya mencakup siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada
siapa, bilamana, di mana, dan masalah apa yang dibicarakan. Sesuai dengan
penegasan ini, berarti dominasi faktor sosial dan situasional dalam pemakaian bahasa
akan mempengaruhi munculnya variasi bahasa.
Dalam studi tentang variasi bahasa, Raharjo (2001:74) mengemukakan bahwa
ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya perbedaan
dari sudut pembicara, tempat, pokok tuturan, dan situasi. Dalam penelitian ini variasi
bahasa lisan merupakan alat yang digunakan penjual dan pembeli di dalam
mengadakan interaksi jual-beli. Bahasa yang digunakan pun bervariasi. Hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah dan mempercepat interaksi jual-beli agar cepat
tercapai.
Bahasa yang digunakan antara penjual yang satu dengan penjual lain atau pembeli
yang satu dengan pembeli lain berbeda, tetapi bahasa yang mereka gunakan
kebanyakan bahasa tidak baku dan bersifat informal, bukan formal. Dalam situasi
informal mereka menggunakan bahasa santai, ringkas, dan kurang memperhatikan
struktur kalimat yang benar. Sebaliknya, dalam situasi formal manusia menggunakan
bahasa yang resmi, lengkap, dan terstruktur.
Untuk menentukan pemahaman dalam komunikasi perlu diketahui hubungan
antara bahasa dan konteksnya. Artinya, untuk mengetahui atau memahami makna
yang dimaksudkan oleh peneliti atau penulis, tidak hanya dengan memahami makna
yang dimaksud atau kalimat yang digunakan, tetapi dituntut untuk mengambil
pengetahuan dan kesimpulan tentang apa yang dikatakan atau ditulis berdasarkan
pemakaian konteks yang ada.
Dalam interaksi jual-beli di pasar Bintan Centre Tanjungpinang diperlukan bahasa sebagai
alat komunikasi. Bahasa yang digunakan penjual dan pembeli di Bintan Centre Tanjungpinang adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan segala ragamnya. Bahasa yang digunakan meliputi bahasa Jawa ngoko lugu, ngoko alus, . Bahasa Indonesia yang digunakan bersifat bilingualis. Artinya, kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain atau menggunakan bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan.
Dari sini barulah dimunculkan masalah faktor-faktor yang mempengaruhi variasi bahasa
tersebut. Menurut Fishman (Chaer dan Leonie Agustina,1995:204), faktor-faktor yang
mempengaruhi variasi bahasa adalah lokasi, topik, dan partisipan; seperti keluarga,
tetangga, teman, transaksi pemerintahan, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
Adapun peneliti tertarik untuk meneliti Variasi Bahasa Lisan Penjual dan Pembeli di
Pasar Bintan Centre  karena pasar tersebut merupakan salah satu pasar di
Kota Tanjungpinang  yang tergolong besar dan ramai dikunjungi oleh segala lapisan
masyarakat sehingga memunculkan adanya komunitas pemakai bahasa.
Permasalahan utama yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
variasi bahasa lisan penjual dan pembeli pada saat berinteraksi. Sebelum diadakan
penelitian, dirumuskan masalah sebagai berikut: (1) bagaimanakah karakteristik
bahasa yang dipakai oleh penjual?, (2) bagaimanakah karakteristik bahasa yang
dipakai oleh pembeli?, dan (3) faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi
variasi bahasa lisan penjual dan pembeli dalam interaksi jual-beli?.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik bahasa yang dipakai
oleh penjual dan pembeli dan mengidentifikasikan faktor-faktor yang melatarbelakangi
variasi bahasa lisan yang dipilih oleh penjual dan pembeli di pasar Bintan Centre Tanjungpinang dalam interaksi jual-beli.
Penelitian tentang variasi bahasa dalam interaksi jual-beli yang diketahui dapat
disebutkan sebagai berikut.
Gunarso (1996:66-67) menyatakan bahwa faktor yang melatarbelakangi
terjadinya peristiwa campur kode adalah bahasa yang dipergunakan oleh pedagang
dan pembeli di pasar Klewer Surakarta. Pada dasarnya bahasa yang dipergunakan
oleh pedagang dan pembeli di pasar Klewer adalah faktor sosial, pendidikan, bahasa,
dan sikap (hubungan antara pedagang dan pembeli).
Suparno (2000:16-17) meneliti “Wacana Jual-Beli Berbahasa Indonesia
(WJBBI)”. Dia menyimpulkan sebagai salah satu jenis wacana berbahasa Indonesia,
wacana jual beli bahasa Indonesia memiliki kekhasan. Cirinya yang khas itu dapat
diperikan dari ciri struktur dan kepaduannya.
Marfuah (2001:105-106) menyimpulkan bahwa bentuk satuan lingual penanda
penolakan (SLPP) adalah (1) SLPP berwujud ora (ngoko) ‘tidak’, mboten (ngoko)
‘jangan’, SLPP kata mengke (krama) ‘nanti’, dan dereng (ngoko) ‘belum’, (3)
bentuk ‘nanti’, (4) bentuk SLPP berwujud syarat/kondisi, (5) bentuk SLPP berwujud
alasan, (6) bentuk SLPP berwujud usul atau pilihan, (7) bentuk SLPP berwujud
ucapan terima kasih, dan (8) bentuk SLPP berwujud komentar.
Reny Rahayu (2002:57-58) menyimpulkan bahwa bentuk persepsi mitratutur
terhadap penutur dalam interaksi jual beli makanan ringan banyak menimbulkan
pertanyaan dan persepsi. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh keinginan penutur yang
belum jelas diketahui oleh mitratutur. Mitratutur belum mengetahui barang yang baru
dijual, dan keinginan pembeli mengenai barang yang dibeli tidak disesuaikan dengan
konteks.
Variasi bahasa lisan penjual dan pembeli dalam interaksi jual beli di Pasar BINCEN adalah sebuah wacana dari hasil percakapan atau dialog. Sebagai wacana
percakapan atau dialog, variasi bahasa lisan penjual dan pembeli di Pasar BINCEN tersebut mengandung pergantian tuturan .
Kevariasian bahasa ditentukan pula oleh faktor-faktor yang berakar dari konteks
dan situasi seperti letak geografis, situasi berbahasa, status sosial, dan kurun waktu.
Ragam bahasa sehubungan dengan daerah atau lokasi geografis disebut dialek.
Berdasarkan kenyataan masyarakat Indonesia dapat diketahui bahwa di daerah
dan kota terdapat orang-orang yang memakai bahasa yang berlainan dan menguasai
lebih dari satu bahasa, misalnya bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Suatu
daerah atau masyarakat yang menggunakan dua bahasa disebut daerah atau
masyarakat yang berdwibahasa atau bilingual. Orang yang dapat menggunakan dua
bahasa disebut dwibahasawan atau orang yang bilingual (berdwibahasa). Keadaan
seperti itu oleh Nababan (1984:27) disebut bilingualisme. Jadi, bilingualisme ialah
kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain, sedangkan
bilingualitas adalah kesanggupan atau kemampuan seseorang dalam berdwibahasa.
Interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada
waktu tertentu dengan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa
tutur.
Dalam pemakaian bahasanya, setiap penutur selalu memperhitungkan kepada
siapa ia berbicara, di mana, mengenai masalah apa, dan dalam situasi bagaimana.
Dengan demikian, tempat berbicara menentukan cara pemakaian bahasa penutur.
Demikian pula pokok tuturan dan situasi tutur akan memberi warna terhadap
pembicaraan yang sedang berlangsung.
Tingkat tutur bahasa Jawa ada tiga macam, yaitu ngoko untuk tingkat tutur
rendah, madya untuk tingkat tutur sedang, dan krama untuk tingkat tutur tinggi.
Namun, khusus di kalangan keraton dikenal adanya ragam basa kedhaton atau
basa bagongan (Antunsuhono, 1956:45).
Untuk mencapai keberhasilan komunikasi seseorang tidak cukup hanya
menguasai kegramatikalan kalimat, tetapi banyak komponen yang harus diperhatikan.
Agar tidak dianggap sebagai orang yang tidak bertatakrama, orang harus banyak
belajar berkomunikasi dengan orang lain.
Bahasa Jawa dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga
maupun dalam pergaulan masyarakat. Misalnya, bahasa Jawa dipakai dalam
upacara-upacara tradisional, seperti perkawinan, khitanan, dan lain-lain. Bahasa
Jawa juga dipakai dalam khotbah-khotbah di mesjid. Begitu pula dalam rapat-rapat
atau petemuan tingkat desa. Adapun bahasa Jawa yang hidup di kota Yogyakarta
dan Solo merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di keraton.

METODE PENELITIAN
Dalam pengumpulan data ini digunakan metode simak atau penyimakan, yaitu
metode pengumpulan data dengan jalan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto,
1993:2). Dalam hal ini penggunaan bahasa di lingkungan Pasar BINCEN Tanjungpinang,
sebagai teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teknik sadap. Artinya,
dalam mendapatkan data, peneliti mengadakan penyimakan pemakaian variasi bahasa
lisan antara penjual dan pembeli dalam mengadakan interaksi jual beli.
Adapun teknik lanjutan yang digunakan ada 2 macam, yaitu teknik simak libat
cakap (TSLC) dan teknik simak bebas libat cakap (TSBLC). Kegiatan penyadapan
itu dilakukan pertama-tama dengan TSLC. Dalam teknik ini peneliti terlibat langsung
dalam dialog. Di samping memperhatikan penggunaan bahasa mitra wicaranya, peneliti
ikut serta dalam pembicaraan dengan mitra wicaranya.
Di samping itu, kegiatan penyadapan dilakukan dengan teknik simak bebas
libat cakap (TSBLC). Dalam teknik ini peneliti tidak terlibat dalam dialog, konversasi,
atau imbal wicara. Jadi, peneliti tidak ikut berbicara. Peneliti tidak bertindak sebagai
pembicara yang berhadapan dengan mitra wicaranya, tetapi hanya sebagai pemerhati.
Selain TSLC dan TSBLC, digunakan teknik catat dan teknik rekam untuk mengumpulkan
data. Digunakan juga metode cakap.
Adapun teknik dasar yang digunakan adalah teknik pancing. Untuk mendapatkan
data, mula-mula peneliti harus memancing seseorang atau beberapa orang agar
berbicara. Adapun teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik cakap semuka
(TCS), untuk memperoleh informasi logis dengan narasumber atau informan tentang
hal-hal yang penting dalam percakapan tersebut. Penulis mencatat sebagai realisasi
dari teknik catat.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan. Metode padan
adalah metode analisis bahasa yang alatnya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian
dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Metode itu dapat
dibedakan menjadi lima sub-jenis yaitu teknik referensial, fonetis artikulatoris,
translasional, ortografis, dan pragmatis. Teknik yang digunakan dalam menganalisis
data dalam penelitian meliputi :
(1) teknik referensial adalah teknik yang digunakan untuk menganalisis konteks
kalimat bahasa penjual dan pembeli.
(2) teknik pragmatis adalah teknik dengan daya pilah mitra wicara sebagai pembeda
reaksi dan kadar keterdengaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi variasi
bahasa lisan penjual dan pembeli dalam interaksi jual-beli di pasar BINCEN Tanjungpinang dapat disajikan sebagai berikut.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi variasi bahasa lisan penjual dan pembeli
dalam interaksi jual-beli.
Penggunaaan masing-masing tingkat tutur oleh para penjual dan pembeli dalam
berkomunikasi pada umumnya tidak konsisten. Artinya, dalam suatu wacana para
penutur jarang yang berpegang pada satu tingkat tutur saja. Mereka sering
menggunakan dua atau lebih variasi tingkat tutur, bahkan ada yang mencampurnya
dengan variasi bahasa Indonesia sehingga dalam suatu wacana sering terjadi peristiwa
alih kode dan campur kode dari tingkat tutur yang satu ke satu tingkat tutur yang lain
atau juga dari tingkat tutur bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Alih kode dan campur
kode dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain ini disebabkan oleh penutur yang
berdwibahasa.
Peristiwa alih kode dan campur kode dalam tindak bahasa para penjual dan
pembeli pada umumnya terjadi begitu saja di tengah-tengah wacana atau bagian
wacananya. Peralihan tersebut biasanya tidak berlangsung lama sebab pada waktunya
penutur akan kembali ke tingkat tuturnya yang asli. Alih kode dan campur kode
demikian disebut alih kode dan campur kode sementara.
Alih kode dan campur kode tersebut dapat disadari oleh si penutur dan dapat
juga tidak disadari. Alih kode dan campur kode yang tidak disadari oleh penutur
biasanya terjadi karena si penutur ingin mencari jalan termudah dalam menyampaikan
pikiran dan isi hatinya. Ini dapat dilihat dalam bahasa para penjual dan pembeli pada
saat menyebut harga/jumlah barang. Pada peristiwa lain secara tak sadar penutur
yang ada pada mulanya menggunakan tingkat tutur krama kadang tergelincir menggunakan
kata-kata madya dan juga ngoko. Peristiwa yang demikian dapat
diasumsikan karena penutur tidak begitu menguasai bahasa krama dengan baik
sehingga tanpa disadari bahasanya menurun ke tingkat tutur madya, bahkan ke
tingkat ngoko.

Data 1.
Konteks : Percakapan seorang ibu muda penjual sayur nangka dengan pembelinya
ibu muda yang kebetulan berprofesi sebagai guru
Polan : ‘Nangkane pira, mbak ?’
‘Nangkanya berapa, mbak ?’
Pulin : ‘Kalih ewu’.
‘Dua ribu’.
Polan : ‘Ra karo tengah ta, pira mbak iki, gek iki karo tengah, ya, mbak?’
‘Tidak seribu lima ratus ya, berapa mbak ini, yang ini seribu lima ratus
ya mbak?’
Pulin : ‘Pripun ?’
‘Bagaimana ?’
Polan : ‘Karo tengah ya’.
‘Seribu lima ratus ya ‘.
Pulin : ‘Mboten angsal Bu’
‘Tidak boleh Bu’.
Polan : ‘Nyo iki’
‘Ini’.
Pulin : ‘Nggih, kalih ewu dicacah mboten ?’
‘Ya, dua ribu dicincang tidak ?’
Polan : ‘Anumen dipotong cilik-cilik, kecil-kecil. Anune mbak hargane
tempene anu ada nggak mbak ? (maksudnya mau mencari tempe)’.
‘Begini saja dipotong kecil-kecil, kecil-kecil. Anunya mbak
harganya tempenya anu ada tidak mbak ?’
Pulin : ‘Mboten wonten bu’.
‘Tidak ada Bu’.
Polan : ‘Critane njangan, anu, gori. So ne enten mboten mbak, so ne
mbak?’
‘Ceritanya nyayur, anu, nangka. Daun melinjo ada tidak mbak, daun
melinjo mbak ?’
Pulin : ‘Mboten wonteni’.
(Sambil memasukkan sayur ke nangka ke dalam plastik disertai Pb
menyerahkan uangnya)
‘Tidak ada’.
Mulai dari sini tidak terjadi komunikasi dalam bentuk kata-kata yang menyertai
kegiatan Pulin dan Polan, baik pada saat menyerahkan barang maupun pada saat
pembayaran.
Keterangan : Pulin adalah seorang ibu muda berusia 27 tahun, lulusan SMP, yang
kesehariannya bekerja sebagai penjual sayuran di pasar BINCEN Tanjungpinang. Polan adalah seorang ibu muda berusia 35 tahun, berprofesi sebagai guru SD di kota Tanjungpinang. Pulin dan Polan sedang melakukan tawar-menawar harga sayur nangka.
Alih kode dan campur kode yang disadari oleh penutur biasanya terjadi karena
penutur mempunyai maksud-maksud tertentu. Dalam bahasa para penjual dan
pembeli misalnya, alih kode atau campur kode ke ragam ngoko bermaksud untuk
mengakrabi atau untuk mengungkapkan gagasan yang ditujukan pada diri sendiri.
Secara keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya bentuk-bentuk
variasi ragam bahasa itu ada hubungannya dengan setting dan tujuan,  atau tempat dan suasana, yaitu pasar BINCEN, sebuah pasar yang dikunjungi banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Ada masyarakat pelajar, pegawai, buruh, petani, pedagang, dan sebagainya.
 Adapun suasana di pasar adalah santai sehingga variasi ragam bahasa yang digunakan oleh penjual dan pembeli pun beragam santai pula.

Data 2.
Konteks : Percakapan seorang penjual jamu ibu muda dengan seorang pembeli
remaja.
Pulin (a) : ‘Mbak’.
‘Mbak’.
Polan (a) : ‘Jampi, mbak’.
‘Jamu mbak’.
Pulin (a) : ‘Nggih, galian napa ?’
‘Ya galian apa ?’
Polan (a) : ‘Galian’.
‘Galian’.
Pulin (a) : ‘Diunjuk mriki ta, mbak?’
‘Diminum sini kan, mbak ?’
Polan (a) : ‘Sing napa ? Marahi ra doyan mangan napa heee….’.
‘Yang apa ? Membuat tidak mau makan apa heee…’.
Pulin (a) : ‘He, eh…..ojo.. ra doyan mangan engko ndak di suntikne’.
‘He, eh…jangan… tidak mau makan nanti malah disuntikkan’.
Polan (a) : ‘He.. nggih’.
‘He.... iya’.
Pulin (b) : (Penjual makanan di samping P) ‘Sing penting anu mbak, ra
dahar, wong sing ra doyan mangan we di tambakne’.
‘Yang penting anu mbak, tidak makan, orang yang tidak mau
makan saja diobatkan’.
Pulin (a) : ‘Enak tak kei anggur, wis ro dho gedhe suk nek bar anu gek ra
sawanen’.
‘Enak saya beri anggur, sudah agak besar besok kalau sudah anu
biar tidak sawanan’.
Polan (b) : ‘Jamune loro nduk !’
‘Jamunya dua nak’.
Pulin (a) : ‘Nggih (sambil meracik), nganggo pait ora ?’
‘Nggih, pakai pahit tidak ?’
Polan (a) : ‘Eehm... nggih, sekedhik’.
‘Ehm… ya, sedikit’.
Pulin : ‘Sithik ya mbak, prei iki ya, mbak ?’
‘Sedikit ya mbak, libur ini ya, mbak ?’
Polan (a) : ‘Nggih, pinten, bu ?’
‘Ya, berapa, Bu ?’
Pulin (a) : ‘Gangsal atus’.
‘Lima ratus’.
Polan (b) : ‘Pedes, nggih’.
‘Pedas, ya’.
Pulin (a) : ‘Nggih.Anggure semriwing ya mbak, nek ra ngganggo
anggurkan rak mambu, mpun komplit ta niki ?’
‘Iya. Anggurnya semriwing ya mbak, kalau tidak pakai anggur kan
tidak bau, sudah lengkap ya ini ?’
Polan (a) : ‘Ehm….. dereng kok’.
‘Ehm….belum kok’.
Pulin (a) : ‘Lagi teko ta ?’
‘Baru datang, ya ?’
Polan : ‘Nggih’. (sambil pergi)
‘Iya’.
Keterangan : Pulin (a) adalah seorang ibu setengah baya, berusia 40 tahun, bekerja
sebagai penjual jamu di pasar BINCEN . Pulin (b) adalah seorang ibu tua penjual
makanan kecil yang duduk bersebelahan dengan Pulin (a), berusia 50 tahun, dengan
pendidikan rendah. Polan (a) adalah seorang gadis remaja, berusia 22 tahun, masih
kuliah di perguruan Tinggi Swasta di Tanjungpinang. Polan (b) adalah seorang ibu tua , berusia 50 tahun, yang bekerja sebagai buruh. Partisipan juga berpengaruh terhadap variasi bahasa. Penjual yang berusia tua dalam melayani pembeli remaja biasanya menggunakan ragam ngoko. Penjual dan
pembeli yang berusia sejajar biasanya sama-sama menggunakan ragam madya atau
ragam ngoko. Hubungan antara penjual dan pembeli yang berlangganan biasanya
menggunakan ragam ngoko.

Data 3.
Konteks : Percakapan antara seorang ibu muda penjual makanan ringan dengan
pembeli seorang remaja.
Polan : ‘Jajan sing abang, ijo, dawa, isih ana mbak ?’
‘Jajan yang merah, hijau, panjang ,masih ada mbak ?’
Pulin : ‘Apa sich ?’
‘Apa sich ?’
Polan : ‘Kae sing kaya jentik’.
‘Itu yang seperti jari’.
Pulin : ‘Tango’.
‘Tango’.
Polan : ‘Dudu’.
‘Bukan’.
Pulin : ‘Astor’.
‘Astor’.
Polan : ‘Iya, astor. Arep ngomong astor wae angel banget, astore lima’.
‘Iya, astor. Mau bilang astor saja susah sekali, astornya lima’.
Pulin : ‘Apa maneh ?’
‘Apa lagi ?’
Polan : ‘Wis, iki karo iki kabehe pira ?’
‘Sudah, ini sama ini semuanya berapa ?’
Pulin : ‘Pitung ewu, terima kasih’.
‘Tujuh ribu, terima kasih’.
Keterangan : Pulin adalah seorang ibu muda, berusia 35 tahun.. Polan adalah seorang remaja putri, berusia 20 tahun, masih kuliah di Perguruan Tinggi Swasta. Polan sudah berlangganan dengan Pulin.
Tujuan penutur juga mempengaruhi bentuk variasi ragam bahasa yang digunakan.
Penutur yang bermaksud mengakrabi lawan tutur biasanya menggunakan ragam
ngoko. Penutur yang bermaksud menghormati lawan tutur, biasanya menggunakan
krama.

SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
Variasi bahasa lisan penjual dan pembeli di Pasar BINCEN Tanjungpinang meliputi;
(1) variasi bahasa Jawa ragam ngoko, madya, krama, dan (2) variasi bahasa
Indonesia ragam santai. Pada kajian-kajian pustaka terdahulu dikemukakan bahwa
variasi ragam bahasa yang digunakan penjual dan pembeli di pasar adalah variasi
bahasa Jawa ragam madya. Namun, dalam penelitian ini variasi bahasa yang paling
dominan adalah ragam bahasa ngoko. Selain itu, ditemukan bahasa Jawa ragam
madya, krama dan variasi bahasa Indonesia ragam santai.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi penggunaan bentuk-bentuk variasi ragam
tersebut adalah :
a. Ragam ngoko lugu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : (1) penutur lebih
tua daripada lawan tutur, (2) antara penjual dan pembeli sudah berlangganan,
(3) penutur mencari kemudahan, (4) penutur ingin menciptakan suasana akrab,
 (5) terpengaruh lawan tutur, (6) penutur ngunandika atau bergumam, (7)
penutur mengungkapkan sentilan, dan (8) penutur bermaksud menjelaskan.
b. Ragam ngoko alus (andhap) disebabkan oleh faktor keinginan penutur untuk
mengakrabi lawan tutur dan menghormatinya.
c. Ragam madya, baik itu madya ngoko, maupun madya krama disebabkan
oleh faktor keinginan penutur untuk menghormati lawan tutur secara sedangsedang
saja. Ragam krama disebabkan oleh faktor keinginan penutur untuk
menghormati lebih pada lawan tutur.
d. Variasi bahasa Indonesia ragam santai disebabkan oleh adanya penutur yang
bilingualisme.
Berdasarkan pada hasil pengkajian dalam penelitian ini dapat disarankan halhal
sebagai berikut :
Apabila ditinjau dari standarisasi sosiolinguistik mengenai bahasa baku, bentukbentuk
variasi ragam bahasa lisan penjual dan pembeli di pasar banyak mengalami
penyimpangan. Namun, bentuk-bentuk variasi bahasa yang demikian merupakan
tanda atau isyarat dari hubungan penutur dan lawan tutur dan sesuatu yang dituntut
oleh keadaan berbahasa tersebut. Oleh karena itu, khusus kepada guru-guru bahasa
sebagai tenaga pendidik dalam memberikan ilmu pengetahuannya pada murid
hendaknya lebih berhati-hati dalam mengatakan salah satu bentuk bahasa sebagai
suatu kesalahan karena perlu disadari bahwa dalam bahasa tidak hanya mempunyai
satu bentuk bahasa dan bahwa dalam berbahasa suatu masyarakat bahasa bukan
homogen terdapat variasi-variasi berdasarkan daerah, tingkat sosial, pekerjaan
penutur, dan sebagainya.
Makna suatu bahasa bersumber pada situasi berbahasa. Oleh karena itu, bagi
perencana pengajaran bahasa hendaknya dalam menyusun perencanaan pengajaran
bahasa harus memperhatikan bahwa bahasa yang dipakai dalam masyarakat dan
tujuan pengajaran bahasa bersumber pada keperluan masyarakat dan penggunaan
bahasa dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Fishman (dalam Wibowo, 2001:5-6).
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Gunarso. 1996. “Ragam Bahasa Lisan.
Tanjungpinang, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Universitas Maritim Raja Ali haji.
Studi Kasus Interaksi Jual – Beli di Pasar Bintan Centre Tanjungpinang.
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Raharjo, Maryono Dwi. 2001. Bahasa Jawa Krama. Surakarta: Pustaka Cakra.
Suparno. 2000. “Wacana Jual-Beli Berbahasa Indonesia”. Dalam Linguistik Indonesia.
Jakarta.
Internet Pencarian , ( www.google.com ) .