VARIASI
BAHASA LISAN PENJUAL DAN PEMBELI DI PASAR BINTAN CENTRE TANJUNGPINANG KM.09
PENDAHULUAN
Situasi
kebahasaan masyarakat tutur Jawa diwarnai pemakaian bahasa Jawa
dan
bahasa Indonesia dengan segala kemungkinan pemakaian bahasa daerah lain
dan
bahasa asing. Apabila dalam situasi seperti itu terjadi kontak sosial
antarpenutur,
penutur
yang terlibat dalam kontak sosial tersebut akan berusaha memilih salah satu
bahasa
atau variasinya yang paling cocok untuk keperluan dan situasi tertentu.
Pemilihan
bahasa demikian menunjukkan fungsi tiap-tiap bahasa bertalian dengan
keperluan
dan situasinya.
Gejala
semacam itu terlihat di dalam pemakaian bahasa oleh penjual dan pembeli
di
pasar Bintan Centre. Agar komunikasi dapat berjalan lancar dan tujuan
komunikasi
dapat tercapai seperti yang dikehendaki, pemilihan bahasanya harus
mempertimbangkan
berbagai faktor.
Fishman
(dalam Wibowo, 2001:5-6) menegaskan bahwa pemakaian bahasa
tidak
hanya ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor nonlinguistik,
seperti
faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial, di antaranya meliputi
status
sosial,
tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, usia, dan jenis kelamin. Adapun faktor
situasional
di antaranya mencakup siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada
siapa,
bilamana, di mana, dan masalah apa yang dibicarakan. Sesuai dengan
penegasan
ini, berarti dominasi faktor sosial dan situasional dalam pemakaian bahasa
akan
mempengaruhi munculnya variasi bahasa.
Dalam
studi tentang variasi bahasa, Raharjo (2001:74) mengemukakan bahwa
ragam
bahasa merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya perbedaan
dari
sudut pembicara, tempat, pokok tuturan, dan situasi. Dalam penelitian ini
variasi
bahasa
lisan merupakan alat yang digunakan penjual dan pembeli di dalam
mengadakan
interaksi jual-beli. Bahasa yang digunakan pun bervariasi. Hal ini
dimaksudkan
untuk mempermudah dan mempercepat interaksi jual-beli agar cepat
tercapai.
Bahasa
yang digunakan antara penjual yang satu dengan penjual lain atau pembeli
yang
satu dengan pembeli lain berbeda, tetapi bahasa yang mereka gunakan
kebanyakan
bahasa tidak baku dan bersifat informal, bukan formal. Dalam situasi
informal
mereka menggunakan bahasa santai, ringkas, dan kurang memperhatikan
struktur
kalimat yang benar. Sebaliknya, dalam situasi formal manusia menggunakan
bahasa
yang resmi, lengkap, dan terstruktur.
Untuk
menentukan pemahaman dalam komunikasi perlu diketahui hubungan
antara
bahasa dan konteksnya. Artinya, untuk mengetahui atau memahami makna
yang
dimaksudkan oleh peneliti atau penulis, tidak hanya dengan memahami makna
yang
dimaksud atau kalimat yang digunakan, tetapi dituntut untuk mengambil
pengetahuan
dan kesimpulan tentang apa yang dikatakan atau ditulis berdasarkan
pemakaian
konteks yang ada.
Dalam
interaksi jual-beli di pasar Bintan Centre Tanjungpinang diperlukan bahasa
sebagai
alat
komunikasi. Bahasa yang digunakan penjual dan pembeli di Bintan Centre
Tanjungpinang adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan segala ragamnya.
Bahasa yang digunakan meliputi bahasa Jawa ngoko lugu, ngoko alus, .
Bahasa Indonesia yang digunakan bersifat bilingualis. Artinya, kebiasaan
menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain atau menggunakan
bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan.
Dari
sini barulah dimunculkan masalah faktor-faktor yang mempengaruhi variasi bahasa
tersebut.
Menurut Fishman (Chaer dan Leonie Agustina,1995:204), faktor-faktor yang
mempengaruhi
variasi bahasa adalah lokasi, topik, dan partisipan; seperti keluarga,
tetangga,
teman, transaksi pemerintahan, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
Adapun
peneliti tertarik untuk meneliti Variasi Bahasa Lisan Penjual dan Pembeli di
Pasar
Bintan Centre karena pasar tersebut
merupakan salah satu pasar di
Kota
Tanjungpinang yang tergolong besar dan
ramai dikunjungi oleh segala lapisan
masyarakat
sehingga memunculkan adanya komunitas pemakai bahasa.
Permasalahan
utama yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
variasi
bahasa lisan penjual dan pembeli pada saat berinteraksi. Sebelum diadakan
penelitian,
dirumuskan masalah sebagai berikut: (1) bagaimanakah karakteristik
bahasa
yang dipakai oleh penjual?, (2) bagaimanakah karakteristik bahasa yang
dipakai
oleh pembeli?, dan (3) faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi
variasi
bahasa lisan penjual dan pembeli dalam interaksi jual-beli?.
Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik bahasa yang dipakai
oleh
penjual dan pembeli dan mengidentifikasikan faktor-faktor yang melatarbelakangi
variasi
bahasa lisan yang dipilih oleh penjual dan pembeli di pasar Bintan Centre
Tanjungpinang dalam interaksi jual-beli.
Penelitian
tentang variasi bahasa dalam interaksi jual-beli yang diketahui dapat
disebutkan
sebagai berikut.
Gunarso
(1996:66-67) menyatakan bahwa faktor yang melatarbelakangi
terjadinya
peristiwa campur kode adalah bahasa yang dipergunakan oleh pedagang
dan
pembeli di pasar Klewer Surakarta. Pada dasarnya bahasa yang dipergunakan
oleh
pedagang dan pembeli di pasar Klewer adalah faktor sosial, pendidikan, bahasa,
dan
sikap (hubungan antara pedagang dan pembeli).
Suparno
(2000:16-17) meneliti “Wacana Jual-Beli Berbahasa Indonesia
(WJBBI)”.
Dia menyimpulkan sebagai salah satu jenis wacana berbahasa Indonesia,
wacana
jual beli bahasa Indonesia memiliki kekhasan. Cirinya yang khas itu dapat
diperikan
dari ciri struktur dan kepaduannya.
Marfuah
(2001:105-106) menyimpulkan bahwa bentuk satuan lingual penanda
penolakan
(SLPP) adalah (1) SLPP berwujud ora (ngoko) ‘tidak’, mboten (ngoko)
‘jangan’,
SLPP kata mengke (krama) ‘nanti’, dan dereng (ngoko)
‘belum’, (3)
bentuk
‘nanti’, (4) bentuk SLPP berwujud syarat/kondisi, (5) bentuk SLPP berwujud
alasan,
(6) bentuk SLPP berwujud usul atau pilihan, (7) bentuk SLPP berwujud
ucapan
terima kasih, dan (8) bentuk SLPP berwujud komentar.
Reny
Rahayu (2002:57-58) menyimpulkan bahwa bentuk persepsi mitratutur
terhadap
penutur dalam interaksi jual beli makanan ringan banyak menimbulkan
pertanyaan
dan persepsi. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh keinginan penutur yang
belum
jelas diketahui oleh mitratutur. Mitratutur belum mengetahui barang yang baru
dijual,
dan keinginan pembeli mengenai barang yang dibeli tidak disesuaikan dengan
konteks.
Variasi
bahasa lisan penjual dan pembeli dalam interaksi jual beli di Pasar BINCEN
adalah sebuah wacana dari hasil percakapan atau dialog. Sebagai wacana
percakapan
atau dialog, variasi bahasa lisan penjual dan pembeli di Pasar BINCEN tersebut
mengandung pergantian tuturan .
Kevariasian
bahasa ditentukan pula oleh faktor-faktor yang berakar dari konteks
dan
situasi seperti letak geografis, situasi berbahasa, status sosial, dan kurun
waktu.
Ragam
bahasa sehubungan dengan daerah atau lokasi geografis disebut dialek.
Berdasarkan
kenyataan masyarakat Indonesia dapat diketahui bahwa di daerah
dan
kota terdapat orang-orang yang memakai bahasa yang berlainan dan menguasai
lebih
dari satu bahasa, misalnya bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Suatu
daerah
atau masyarakat yang menggunakan dua bahasa disebut daerah atau
masyarakat
yang berdwibahasa atau bilingual. Orang yang dapat menggunakan dua
bahasa
disebut dwibahasawan atau orang yang bilingual (berdwibahasa). Keadaan
seperti
itu oleh Nababan (1984:27) disebut bilingualisme. Jadi, bilingualisme ialah
kebiasaan
menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain, sedangkan
bilingualitas
adalah kesanggupan atau kemampuan seseorang dalam berdwibahasa.
Interaksi
yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada
waktu
tertentu dengan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa
tutur.
Dalam
pemakaian bahasanya, setiap penutur selalu memperhitungkan kepada
siapa
ia berbicara, di mana, mengenai masalah apa, dan dalam situasi bagaimana.
Dengan
demikian, tempat berbicara menentukan cara pemakaian bahasa penutur.
Demikian
pula pokok tuturan dan situasi tutur akan memberi warna terhadap
pembicaraan
yang sedang berlangsung.
Tingkat
tutur bahasa Jawa ada tiga macam, yaitu ngoko untuk tingkat tutur
rendah,
madya untuk tingkat tutur sedang, dan krama untuk tingkat tutur
tinggi.
Namun,
khusus di kalangan keraton dikenal adanya ragam basa kedhaton atau
basa
bagongan (Antunsuhono, 1956:45).
Untuk
mencapai keberhasilan komunikasi seseorang tidak cukup hanya
menguasai
kegramatikalan kalimat, tetapi banyak komponen yang harus diperhatikan.
Agar
tidak dianggap sebagai orang yang tidak bertatakrama, orang harus banyak
belajar
berkomunikasi dengan orang lain.
Bahasa
Jawa dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga
maupun
dalam pergaulan masyarakat. Misalnya, bahasa Jawa dipakai dalam
upacara-upacara
tradisional, seperti perkawinan, khitanan, dan lain-lain. Bahasa
Jawa
juga dipakai dalam khotbah-khotbah di mesjid. Begitu pula dalam rapat-rapat
atau
petemuan tingkat desa. Adapun bahasa Jawa yang hidup di kota Yogyakarta
dan
Solo merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di keraton.
METODE
PENELITIAN
Dalam
pengumpulan data ini digunakan metode simak atau penyimakan, yaitu
metode
pengumpulan data dengan jalan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto,
1993:2).
Dalam hal ini penggunaan bahasa di lingkungan Pasar BINCEN Tanjungpinang,
sebagai
teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teknik sadap. Artinya,
dalam
mendapatkan data, peneliti mengadakan penyimakan pemakaian variasi bahasa
lisan
antara penjual dan pembeli dalam mengadakan interaksi jual beli.
Adapun
teknik lanjutan yang digunakan ada 2 macam, yaitu teknik simak libat
cakap
(TSLC) dan teknik simak bebas libat cakap (TSBLC). Kegiatan penyadapan
itu
dilakukan pertama-tama dengan TSLC. Dalam teknik ini peneliti terlibat langsung
dalam
dialog. Di samping memperhatikan penggunaan bahasa mitra wicaranya, peneliti
ikut
serta dalam pembicaraan dengan mitra wicaranya.
Di
samping itu, kegiatan penyadapan dilakukan dengan teknik simak bebas
libat
cakap (TSBLC). Dalam teknik ini peneliti tidak terlibat dalam dialog,
konversasi,
atau
imbal wicara. Jadi, peneliti tidak ikut berbicara. Peneliti tidak bertindak
sebagai
pembicara
yang berhadapan dengan mitra wicaranya, tetapi hanya sebagai pemerhati.
Selain
TSLC dan TSBLC, digunakan teknik catat dan teknik rekam untuk mengumpulkan
data.
Digunakan juga metode cakap.
Adapun
teknik dasar yang digunakan adalah teknik pancing. Untuk mendapatkan
data,
mula-mula peneliti harus memancing seseorang atau beberapa orang agar
berbicara.
Adapun teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik cakap semuka
(TCS),
untuk memperoleh informasi logis dengan narasumber atau informan tentang
hal-hal
yang penting dalam percakapan tersebut. Penulis mencatat sebagai realisasi
dari
teknik catat.
Analisis
data dalam penelitian ini menggunakan metode padan. Metode padan
adalah
metode analisis bahasa yang alatnya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian
dari
bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Metode itu
dapat
dibedakan
menjadi lima sub-jenis yaitu teknik referensial, fonetis artikulatoris,
translasional,
ortografis, dan pragmatis. Teknik yang digunakan dalam menganalisis
data
dalam penelitian meliputi :
(1)
teknik referensial adalah teknik yang digunakan untuk menganalisis konteks
kalimat
bahasa penjual dan pembeli.
(2)
teknik pragmatis adalah teknik dengan daya pilah mitra wicara sebagai pembeda
reaksi
dan kadar keterdengaran.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil penelitian tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi variasi
bahasa
lisan penjual dan pembeli dalam interaksi jual-beli di pasar BINCEN
Tanjungpinang dapat disajikan sebagai berikut.
Faktor-faktor
yang melatarbelakangi variasi bahasa lisan penjual dan pembeli
dalam
interaksi jual-beli.
Penggunaaan
masing-masing tingkat tutur oleh para penjual dan pembeli dalam
berkomunikasi
pada umumnya tidak konsisten. Artinya, dalam suatu wacana para
penutur
jarang yang berpegang pada satu tingkat tutur saja. Mereka sering
menggunakan
dua atau lebih variasi tingkat tutur, bahkan ada yang mencampurnya
dengan
variasi bahasa Indonesia sehingga dalam suatu wacana sering terjadi peristiwa
alih
kode dan campur kode dari tingkat tutur yang satu ke satu tingkat tutur yang
lain
atau
juga dari tingkat tutur bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Alih kode dan campur
kode
dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain ini disebabkan oleh penutur yang
berdwibahasa.
Peristiwa
alih kode dan campur kode dalam tindak bahasa para penjual dan
pembeli
pada umumnya terjadi begitu saja di tengah-tengah wacana atau bagian
wacananya.
Peralihan tersebut biasanya tidak berlangsung lama sebab pada waktunya
penutur
akan kembali ke tingkat tuturnya yang asli. Alih kode dan campur kode
demikian
disebut alih kode dan campur kode sementara.
Alih
kode dan campur kode tersebut dapat disadari oleh si penutur dan dapat
juga
tidak disadari. Alih kode dan campur kode yang tidak disadari oleh penutur
biasanya
terjadi karena si penutur ingin mencari jalan termudah dalam menyampaikan
pikiran
dan isi hatinya. Ini dapat dilihat dalam bahasa para penjual dan pembeli pada
saat
menyebut harga/jumlah barang. Pada peristiwa lain secara tak sadar penutur
yang
ada pada mulanya menggunakan tingkat tutur krama kadang tergelincir
menggunakan
kata-kata
madya dan juga ngoko. Peristiwa yang demikian dapat
diasumsikan
karena penutur tidak begitu menguasai bahasa krama dengan baik
sehingga
tanpa disadari bahasanya menurun ke tingkat tutur madya, bahkan ke
tingkat
ngoko.
Data
1.
Konteks
: Percakapan seorang ibu muda penjual sayur nangka dengan pembelinya
ibu
muda yang kebetulan berprofesi sebagai guru
Polan
: ‘Nangkane pira, mbak ?’
‘Nangkanya
berapa, mbak ?’
Pulin
: ‘Kalih ewu’.
‘Dua
ribu’.
Polan
: ‘Ra karo tengah ta, pira mbak iki, gek iki karo tengah, ya, mbak?’
‘Tidak
seribu lima ratus ya, berapa mbak ini, yang ini seribu lima ratus
ya
mbak?’
Pulin
: ‘Pripun ?’
‘Bagaimana
?’
Polan
: ‘Karo tengah ya’.
‘Seribu
lima ratus ya ‘.
Pulin
: ‘Mboten angsal Bu’
‘Tidak
boleh Bu’.
Polan
: ‘Nyo iki’
‘Ini’.
Pulin
: ‘Nggih, kalih ewu dicacah mboten ?’
‘Ya,
dua ribu dicincang tidak ?’
Polan
: ‘Anumen dipotong cilik-cilik, kecil-kecil. Anune mbak
hargane
tempene
anu ada
nggak mbak ? (maksudnya mau mencari tempe)’.
‘Begini
saja dipotong kecil-kecil, kecil-kecil. Anunya mbak
harganya
tempenya anu ada tidak mbak ?’
Pulin
: ‘Mboten wonten bu’.
‘Tidak
ada Bu’.
Polan
: ‘Critane njangan, anu, gori. So ne enten mboten mbak, so ne
mbak?’
‘Ceritanya
nyayur, anu, nangka. Daun melinjo ada tidak mbak, daun
melinjo
mbak ?’
Pulin
: ‘Mboten wonteni’.
(Sambil
memasukkan sayur ke nangka ke dalam plastik disertai Pb
menyerahkan
uangnya)
‘Tidak
ada’.
Mulai
dari sini tidak terjadi komunikasi dalam bentuk kata-kata yang menyertai
kegiatan
Pulin dan Polan, baik pada saat menyerahkan barang maupun pada saat
pembayaran.
Keterangan
: Pulin adalah seorang ibu muda berusia 27 tahun, lulusan SMP, yang
kesehariannya
bekerja sebagai penjual sayuran di pasar BINCEN Tanjungpinang. Polan adalah seorang
ibu muda berusia 35 tahun, berprofesi sebagai guru SD di kota Tanjungpinang.
Pulin dan Polan sedang melakukan tawar-menawar harga sayur nangka.
Alih
kode dan campur kode yang disadari oleh penutur biasanya terjadi karena
penutur
mempunyai maksud-maksud tertentu. Dalam bahasa para penjual dan
pembeli
misalnya, alih kode atau campur kode ke ragam ngoko bermaksud untuk
mengakrabi
atau untuk mengungkapkan gagasan yang ditujukan pada diri sendiri.
Secara
keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya bentuk-bentuk
variasi
ragam bahasa itu ada hubungannya dengan setting dan tujuan, atau tempat dan suasana, yaitu pasar
BINCEN, sebuah pasar yang dikunjungi banyak orang dari berbagai lapisan
masyarakat. Ada masyarakat pelajar, pegawai, buruh, petani, pedagang, dan
sebagainya.
Adapun suasana di pasar adalah santai sehingga
variasi ragam bahasa yang digunakan oleh penjual dan pembeli pun beragam santai
pula.
Data
2.
Konteks
: Percakapan seorang penjual jamu ibu muda dengan seorang pembeli
remaja.
Pulin
(a) : ‘Mbak’.
‘Mbak’.
Polan
(a) : ‘Jampi, mbak’.
‘Jamu
mbak’.
Pulin
(a) : ‘Nggih, galian napa ?’
‘Ya
galian apa ?’
Polan
(a) : ‘Galian’.
‘Galian’.
Pulin
(a) : ‘Diunjuk mriki ta, mbak?’
‘Diminum
sini kan, mbak ?’
Polan
(a) : ‘Sing napa ? Marahi ra doyan mangan napa heee….’.
‘Yang
apa ? Membuat tidak mau makan apa heee…’.
Pulin
(a) : ‘He, eh…..ojo.. ra doyan mangan engko ndak di suntikne’.
‘He,
eh…jangan… tidak mau makan nanti malah disuntikkan’.
Polan
(a) : ‘He.. nggih’.
‘He....
iya’.
Pulin
(b) : (Penjual makanan di samping P) ‘Sing penting anu mbak, ra
dahar,
wong sing ra doyan mangan we di tambakne’.
‘Yang
penting anu mbak, tidak makan, orang yang tidak mau
makan
saja diobatkan’.
Pulin
(a) : ‘Enak tak kei anggur, wis ro dho gedhe suk nek bar anu gek ra
sawanen’.
‘Enak
saya beri anggur, sudah agak besar besok kalau sudah anu
biar
tidak sawanan’.
Polan
(b) : ‘Jamune loro nduk !’
‘Jamunya
dua nak’.
Pulin
(a) : ‘Nggih (sambil meracik), nganggo pait ora ?’
‘Nggih,
pakai pahit tidak ?’
Polan
(a) : ‘Eehm... nggih, sekedhik’.
‘Ehm…
ya, sedikit’.
Pulin
: ‘Sithik ya mbak, prei iki ya, mbak ?’
‘Sedikit
ya mbak, libur ini ya, mbak ?’
Polan
(a) : ‘Nggih, pinten, bu ?’
‘Ya,
berapa, Bu ?’
Pulin
(a) : ‘Gangsal atus’.
‘Lima
ratus’.
Polan
(b) : ‘Pedes, nggih’.
‘Pedas,
ya’.
Pulin
(a) : ‘Nggih.Anggure semriwing ya mbak, nek ra ngganggo
anggurkan
rak mambu, mpun komplit ta niki ?’
‘Iya.
Anggurnya semriwing ya mbak, kalau tidak pakai anggur kan
tidak
bau, sudah lengkap ya ini ?’
Polan
(a) : ‘Ehm….. dereng kok’.
‘Ehm….belum
kok’.
Pulin
(a) : ‘Lagi teko ta ?’
‘Baru
datang, ya ?’
Polan
: ‘Nggih’. (sambil pergi)
‘Iya’.
Keterangan
: Pulin (a) adalah seorang ibu setengah baya, berusia 40 tahun, bekerja
sebagai
penjual jamu di pasar BINCEN . Pulin (b) adalah seorang ibu tua penjual
makanan
kecil yang duduk bersebelahan dengan Pulin (a), berusia 50 tahun, dengan
pendidikan
rendah. Polan (a) adalah seorang gadis remaja, berusia 22 tahun, masih
kuliah
di perguruan Tinggi Swasta di Tanjungpinang. Polan (b) adalah seorang ibu tua ,
berusia 50 tahun, yang bekerja sebagai buruh. Partisipan juga berpengaruh
terhadap variasi bahasa. Penjual yang berusia tua dalam melayani pembeli remaja
biasanya menggunakan ragam ngoko. Penjual dan
pembeli
yang berusia sejajar biasanya sama-sama menggunakan ragam madya atau
ragam
ngoko. Hubungan antara penjual dan pembeli yang berlangganan biasanya
menggunakan
ragam ngoko.
Data
3.
Konteks
: Percakapan antara seorang ibu muda penjual makanan ringan dengan
pembeli
seorang remaja.
Polan
: ‘Jajan sing abang, ijo, dawa, isih ana mbak ?’
‘Jajan
yang merah, hijau, panjang ,masih ada mbak ?’
Pulin
: ‘Apa sich ?’
‘Apa
sich ?’
Polan
: ‘Kae sing kaya jentik’.
‘Itu
yang seperti jari’.
Pulin
: ‘Tango’.
‘Tango’.
Polan
: ‘Dudu’.
‘Bukan’.
Pulin
: ‘Astor’.
‘Astor’.
Polan
: ‘Iya, astor. Arep ngomong astor wae angel banget, astore lima’.
‘Iya,
astor. Mau bilang astor saja susah sekali, astornya lima’.
Pulin
: ‘Apa maneh ?’
‘Apa
lagi ?’
Polan
: ‘Wis, iki karo iki kabehe pira ?’
‘Sudah,
ini sama ini semuanya berapa ?’
Pulin
: ‘Pitung ewu, terima kasih’.
‘Tujuh
ribu, terima kasih’.
Keterangan
: Pulin adalah seorang ibu muda, berusia 35 tahun.. Polan adalah seorang remaja
putri, berusia 20 tahun, masih kuliah di Perguruan Tinggi Swasta. Polan sudah
berlangganan dengan Pulin.
Tujuan
penutur juga mempengaruhi bentuk variasi ragam bahasa yang digunakan.
Penutur
yang bermaksud mengakrabi lawan tutur biasanya menggunakan ragam
ngoko.
Penutur yang bermaksud menghormati lawan tutur, biasanya menggunakan
krama.
SIMPULAN
DAN SARAN
Dari
hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
Variasi
bahasa lisan penjual dan pembeli di Pasar BINCEN Tanjungpinang meliputi;
(1)
variasi bahasa Jawa ragam ngoko, madya, krama, dan (2) variasi bahasa
Indonesia
ragam santai. Pada kajian-kajian pustaka terdahulu dikemukakan bahwa
variasi
ragam bahasa yang digunakan penjual dan pembeli di pasar adalah variasi
bahasa
Jawa ragam madya. Namun, dalam penelitian ini variasi bahasa yang paling
dominan
adalah ragam bahasa ngoko. Selain itu, ditemukan bahasa Jawa ragam
madya,
krama dan variasi bahasa Indonesia ragam santai.
Faktor-faktor
yang melatarbelakangi penggunaan bentuk-bentuk variasi ragam
tersebut
adalah :
a.
Ragam ngoko lugu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : (1) penutur
lebih
tua
daripada lawan tutur, (2) antara penjual dan pembeli sudah berlangganan,
(3)
penutur mencari kemudahan, (4) penutur ingin menciptakan suasana akrab,
(5) terpengaruh lawan tutur, (6) penutur ngunandika
atau bergumam, (7)
penutur
mengungkapkan sentilan, dan (8) penutur bermaksud menjelaskan.
b.
Ragam ngoko alus (andhap) disebabkan oleh faktor keinginan penutur untuk
mengakrabi
lawan tutur dan menghormatinya.
c.
Ragam madya, baik itu madya ngoko, maupun madya krama disebabkan
oleh
faktor keinginan penutur untuk menghormati lawan tutur secara sedangsedang
saja.
Ragam krama disebabkan oleh faktor keinginan penutur untuk
menghormati
lebih pada lawan tutur.
d.
Variasi bahasa Indonesia ragam santai disebabkan oleh adanya penutur yang
bilingualisme.
Berdasarkan
pada hasil pengkajian dalam penelitian ini dapat disarankan halhal
sebagai
berikut :
Apabila
ditinjau dari standarisasi sosiolinguistik mengenai bahasa baku, bentukbentuk
variasi
ragam bahasa lisan penjual dan pembeli di pasar banyak mengalami
penyimpangan.
Namun, bentuk-bentuk variasi bahasa yang demikian merupakan
tanda
atau isyarat dari hubungan penutur dan lawan tutur dan sesuatu yang dituntut
oleh
keadaan berbahasa tersebut. Oleh karena itu, khusus kepada guru-guru bahasa
sebagai
tenaga pendidik dalam memberikan ilmu pengetahuannya pada murid
hendaknya
lebih berhati-hati dalam mengatakan salah satu bentuk bahasa sebagai
suatu
kesalahan karena perlu disadari bahwa dalam bahasa tidak hanya mempunyai
satu
bentuk bahasa dan bahwa dalam berbahasa suatu masyarakat bahasa bukan
homogen
terdapat variasi-variasi berdasarkan daerah, tingkat sosial, pekerjaan
penutur,
dan sebagainya.
Makna
suatu bahasa bersumber pada situasi berbahasa. Oleh karena itu, bagi
perencana
pengajaran bahasa hendaknya dalam menyusun perencanaan pengajaran
bahasa
harus memperhatikan bahwa bahasa yang dipakai dalam masyarakat dan
tujuan
pengajaran bahasa bersumber pada keperluan masyarakat dan penggunaan
bahasa
dalam masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Fishman
(dalam Wibowo, 2001:5-6).
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Gunarso.
1996. “Ragam Bahasa Lisan.
Tanjungpinang,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Universitas
Maritim Raja Ali haji.
Studi
Kasus Interaksi Jual – Beli di Pasar Bintan Centre Tanjungpinang.
Nababan,
P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Pustaka
Utama.
Raharjo,
Maryono Dwi. 2001. Bahasa Jawa Krama. Surakarta: Pustaka Cakra.
Suparno.
2000. “Wacana Jual-Beli Berbahasa Indonesia”. Dalam Linguistik Indonesia.
Jakarta.